Home / Wisata Budaya / Asal Mula Terjadi Bukit Batu (Keluarga Kecil Bujang Tue)

Asal Mula Terjadi Bukit Batu (Keluarga Kecil Bujang Tue)

etnik - 3 BATU BATU BERNILAI SEJARAH BUDAYA SUMPAH SERUNTING SAKTI SI PAHIT LIDAH DI KAWASAN WISATA ALAM BUKIT BATU OKIMenurut yang empunya cerita, pada zaman dahulu hiduplah satu keluarga sepasang suami istri dan anaknya laki-laki. Ayahnya bernama Mangkubumi, ibunya Sri indu alam, sedangkan anaknya hanya dikenal orang dengan sebutan Bujang Tue. Ia disebut demikian lantaran dalam usianya yang telah lama dewasa tapi belum bertemu jodoh juga.

Pada suatu hari karena tidak melihat anaknya berada dirumah, Mangkubumi bertanya kepada istrinya

“mana bujang Tue, Bu? Daripada ia hanya sibuk bermain, ada baiknya disuruh mencari ikan”.

Mendengar sapaan suaminya, sri indu alam mengingat-ingat . lalu bangkit dari duduknya dan mencari anak semata wayangnya itu. Ia mencari ketempat anaknya biasa bermain. Sebagai anak yang patuh pada orang tua, pergilah Bujang Tue mengikuti kemauan ayahnya agar mencari ikan. Begitu sampai ditempat pencarian ikan, ia mulai menebarkan jalanya. Tidak lama kemudian, iapun mendapatkan seekor ikan patin yang sangat besar. Karena dengan seekor ikan besar itu telah dirasa cukup untuk lauk makan siang itu, bujang tue pun berkemas-kemas pulang.

Setelah sampai di rumah, ia memberitahukan kepada ibunya bahwa telah memperoleh seekor ikan patin dan sekarang dikurung didalam perahu. Dengan perasaan gembira, si ibu turun untuk mendapatkan ikan yang dimaksud. Akan tetapi, Begitu kecewa perempuan itu karena setelah dicari ternyata ikan tidak ada bayangnyapun tidak terlihat.

Si ibu kembali pulang dengan tangan hampa dan bertanya kepada anaknya.

“Mana ikannya jang, ibu sudah mencari-cari, tetapi tidak ada.”

Mendengar itu bujang tue bergegas turun kembali ke perahu. Sekarang giliran bujang tue yang terkejut karena ikan itu memang tidak ada lagi di perahunya. Kedua anak dan ibu itu berpandangan heran. Ketika mereka sibuk mencari-cari, dari arah belakang mereka terdengar sapaan dengan suara halus dan lembut menanyakan apakah keduanya sedang mencari ikan patin yang ada di perahu itu.

Pada saat keduanya menoleh kebelakang, betapa terperanjatnya mereka menyaksikan seorang gadis yang sangat cantik. Si gadis tersenyum kepada ibu dan anak itu. Belum lagi habis rasa bingungnya, si gadis melanjutkan ucapannya:

“Akulah ikan patin itu, sedangkan nenekku adalah puteri kembang dadar”.

Si ibu kemudian menawarkan si gadis untuk naik kepondok, sekaligus hendak dipinang untuk dikawinkan debgan anaknya si bujang tue. Begitu si gadis menyatakan kesediaannya perkawinanpun dilangsungkan dengan upacara yang sederhana.

Hari berganti minggu, dan beberapa purnamapun telah berlalu. Dari oerkawinan mereka lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Bujang Ulung. Beberapa tahun kemudian, keluarga ini mendapat duka dengan meninggalnya sang kakek Mangkubumi dan dalam waktu singkat, juga sang nenek Sri indu alam sakti.

Si Bujang ulung telah pandai berjalan. Bujang tue yan tak lagi lajang itu sangat gembira menyaksikan pertumbuhan anaknya yang semakin lucu dan menyenangkan itu.

Pada suatu hari, ketika istrinya hendak pergi mencuci pakaian di sungai, bujang tue mendapat tugas dari istri menjaga nasi yang belum masak di dapur. Tidak lupa ia memesankan agar jangan sekali-kali periuk yang sedang dijerang diatas tungku itu, ini merupakan pantangan khusus yang bila di langgar akan berakibat kurang baik bagi mereka sekeluarga.

Suaminya berjanji agar tidak sekali-kali membuka tutup periuk tersebut, dan ia akan memegang kuat janjinyaitu.

Sepeninggal istrinya, bujang ulung menagis lapar dan ingin makan dengan segala cara dibujuknya anak itu dengan harapan dapat mengulur waktu sambil menunggu ibunya kembali dari sungai. Ia mencari-cari makanan lain untuk pelipur tangisan si kecil. Tapi sia-sia karena ia tidak memperoleh penganan apapun. Anaknya tetap menangis bahkan semakin lama semakin menjadi-jadi, timbul perasaan iba dihatinya. Maka setelah mempertimbangkan cukup lama, dengan segenap penyesalan yang ada ia memaksakan diri membuka tutup periuk yang masih berada diatas tungku itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa dalam periuk nasi ini hanya ada sebutir nasi saja. Sambil menggendong anaknya, ia kemudian bertanya-tanya apakah selama ini istrinya selalu memasakan makanan untuk mereka hanya dengan sebutir nasi seperti itu?

Sementara itu, di sungai si istri dirasuki perasaan tidak enak dalam hati. Dalam kegelisahannya ia merasa was-was jangan-jangan suaminya telah melakukan pelanggaran. Meski cucian belum selesai, ia segera pulang menuruti perasaan hatinya. Perasaan itu demikian kuat dan yakin, sehingga begitu sampai dirumah ia langsung bertanya kepada suaminya

“Hatiku terasa tidak enak. Kak, sepertinya kakak telah melanggar pesanku tadi. Periuk nasi yang diatas tungku itu sudah kakak buka?”

Mendapat pertanyaan sekaligus kepastian seperti ini ia hanya diam, dan bertanya dalam hati. Dari mana istrinya mengetahui bahwa ia telah membuka tutup periuk itu.

“Kak, karena itu tinggallah kakak. Jagalah anak kita, sedangkan aku akan kembali keasalku.”

Setelah berkata seperti itu, ia berjalan menuju ke sungai meninggalkan suami dan anaknya yang masih memanggil-manggil dari dalam gendongan. Dengan berlari suaminya mengejar, tapi sia-sia karena perempuan itu seperti melesat dan akhirnya menceburkan diri kesungai.

Tidak lama kemudian muncul seekor ikan patin yang sangat besar dihadapan ayah dan anak yang masih tertegun, lama sekali ikan itu menatap si anak, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya. Dengan perasaan yang menyesal. Bujang tue kembali kepondoknya sambil menggendong anaknya yang masih kecil.

Aras kejadian itu, bujang tue kemudian bersumpah.

“Seluruh anak cucuku, aku sumpahi apa bila ia memakan ikan patin.”

Dengan sumpah ini, bujang tue kemudian dikenal dengan sebutan Moyang Patin. Sepeninggal istrinya, beberapa masa kemudian moyang patin pun menemukan jodohnya yang baru. Dari perkawinan yang kedua ini, lahirlah seorang anak perempuan. Anak itu hanya dikenal dengan sebutan Tuan Puteri.

Setelah waktu berlalu, kemudian moyang patin pun dijemput ajalnya skarang tinggallah bujang ulung bersama ibu dan adik tirinya.

Oleh : Rusdiana A Karim

penerbit Depdikbud kecamatan Pampangan 1993

x

Check Also

5 Pantai Terindah di Lombok

Pulau Lombok punya ratusan pantai yang semuanya indah dan memiliki kelebihan masing-masing. Namun di antara ...

Powered by themekiller.com anime4online.com animextoon.com apk4phone.com tengag.com moviekillers.com